Rabu, 05 Mei 2010

Sedikit Cerita Sebelum Pergi

Waaah...setelah sekian lama nggak bercoret-coret ria di blog karna keterbatasan koneksi (begini nasib mereka yang menggantungkan kebutuhan online pada benda bernama modem), akhirnya hari ini situs blog saya bersahabat dengan jaringan yang kayak kurva, naik-turun.

Banyak hal yang terlewatkan untuk dirangkai didalam blog ini.
Ada sebulan lebih deh nggak nyentuh blog. Waaaaw....berasa ada yang gatel-gatel gitu ya sebulan nggak nulis.
Apa yang berubah?
Rambut saya mulai panjang, tubuh saya agak mengurus, dan yang paling drastis adalah tempat saya hidup juga berubah.
Hari ke-enam di bulan April kemarin adalah hari saya menjejakkan kaki di kampung halaman, Bali. Bukan hal yang mudah ngelangkahin kaki menuju bandara. Itu bukan sekedar ngelangkahin kaki kamu, lalu kamu tertidur di pesawat. Pikiran saya lalu dipenuhi oleh wajah-wajah yang saya tinggalkan..
Para sahabat... dan orang yang saya harapkan suatu hari bisa mendampingi saya.

Jadi malem itu (5 April 2010) terakhir kalinya aku barengan sama mereka. Rencananya sih cuma anak cewek aja yang nginep. Nggak taunya, karena keasikan maen truth or dare (seru abis gilak, semua aib kebuka tanpa saringan), akhirnya liat jam udah dini hari dan anak-anak cowok akhirnya batal pulang. Jadilah mereka bergelampangan di ruang tamu layaknya pengungsi.

Saya berusaha untuk tertawa karena memang saat itu keadaan mengharuskan tertawa. Tanpa mereka sadari, saya menghitung setiap jam yang sebentar lagi akan habis. Tanpa mereka sadari juga, saya menatap mereka satu-persatu dengan lekat, kadang sambil mengingat pengalaman terburuk dan termanis yang saya rasakan bersama mereka 3 taun belakangan.
Sampai ke sesi curhat-curhatan. Saya paling benci sesi ini karena saya tau saya tidak akan berhasil untuk tidak menangis. Saya kehabisan kata-kata. Semua rasanya mengaduk-aduk rongga dada. Sumpek. Antara melanjutkan kata-kata dan meneruskan air mata yang bergulir.
Semua kesan dan pesan saya dari mereka saya cermati baik-baik, sambil bersyukur dalam hati betapa Tuhan begitu baiknya memberi saya sejumlah pasukan untuk berjuang bersama, membagi tawa dan tangis bersama, menjadi anak baik dan nakal bersama-sama.

Ternyata menahan tangis itu sangat sakit, kawan....

Malam itu saya tidur dengan pikiran yang setengah masih di alam nyata.

Bandara lalu menjadi tempat melepaskan jabat tangan dan peluk erat. Lagi-lagi (saya aslinya cengeng, lho!) saya benci karena saya selalu gagal menahan air mata.
Pelukan-pelukan dan tepukan bahu yang membesarkan hati saya.Akhirnya genggaman dan pelukan itu harus terlepas.
Sebuah kado manis bersampul ungu dan pita ungu (adududuuuh..sampe sekarang nggak saya buang itu bungkusan sama pita..ungu siiiiih...ahhahahahaha..) dan ini isinya :

Di bis yang mengangkut penumpang ke pesawat henpon saya berdering. Satu lagi yang sangat berat saya tinggalkan. Yaitu kepada siapa saya menautkan hati.
Sejujurnya saya adalah si sok tegar. Pantang buat saya nunjukkin air mata di depan dia. Sampe terakhir ketemu saya masih bisa nahan untuk nggak nangis. Saya nggak mau dia liat air mata saya. Gitu juga saya, saya yakin pasti saya nggak akan liat air mata dia. Saya yakin kok kita bakal ketemu lagi.

Dan pesawat pagi itu menerbangkan saya..
Jauh..
Menjauhi mereka..
Menjauhi apa yang saya cinta..