Minggu, 18 Desember 2011

Tentang Dora, Celengan Ayam, dan Baju-bajunya

Hujannya masih menderas di luar sana. Saya menyendiri di kamar yang hawanya dingin ini.Ditemani novel terbarunya Dee Daveenar, blackberry, website On Line Shop saya, dan celengan ayam.

Kondisi fisik saya belakangan ini gampang sekali drop. Memang karena ada audit di kantor, saya terpaksa lembur sampai lebih dari dua minggu.Yang satunya lagi, karena ada sesuatu melesak di hati saya belakangan ini.
Tidak perlu diceritakan disini sesuatu itu apa. Percayalah itu bukan sesuatu yang melankolis dan membuat galau.

Dan kenapa celengan ayam?

Setiap orang bisa jadi punya sesuatu -entah barang atau yang lain- yang bisa menentramkan hati di saat semua terasa kacau dan membuat kita ingin sesaat berlari sejauh mungkin dari kenyataan

Teman saya, yang juga seorang blogger aktif merasa puas dan "surut" saat melampiaskan semua dalam tulisan-tulisannya.
Lalu saya? Sebuah lemari.

Bingung? Sebenarnya saya juga bingung mau memulai dari mana.
Simpelnya saya menghadapi sebuah kematian dua tahun lalu. Kematian yang juga sempat membuat saya mati suri, yang membuat saya ingin ikut mati -tapi itu mustahil, mengingat tidak ada sejarah yang bagus tentang bunuh diri.
Kematian bocah yang notabene adik bungsu saya.
Oke saya cut sampai disini.
Yang dia tinggalkan adalah kenangan. Itu pasti.
Hal lain yang di tinggalkan adalah sebuah lemari.
Disana yang saya katakan merupakan penguatan saya bila saya merasa ada yang mengganjal di hati saya.

Lemari ukuran besar yang memang khusus di tempatkan di kamar saya dan berisi benda-benda peninggalannya.

Dora.
Dia adalah fans fanatik dora. Sampai akhir hayatnya, kecuali dia terbaring di rumah sakit, tontonan wajib setiap paginya adalah serial Dora the Explorer. Serial yang juga tidak pernah lagi mau saya tonton sejak dua tahun lalu.

Celengan Ayam.
Tadi pagi saya menatap lama isi lemarinya, menyentuh buku-buku pelajarannya, dan berakhir pada celengannya. Celengan ayam berwarna kuning dengan jambul merah. Saat saya timang, beraaaat sekali. Saya tau, itu uang yang dia kumpulkan sejak dia dapat uang saku, sejak dia sekolah, dan saya juga tau celengan itu berat karena isinya kebanyakan adalah uang logam.
Dia pernah bilang celengan itu nantinya akan dia gunakan untuk apa. Saya masih sangat ingat.

Baju-bajunya
Saya merasa dia ada. Saya merasa dia sedang berkostum seperti baju-baju yang sempat saya buka lipatannya satu per satu. Ini sangat sakit. Perih, tapi tetap saja saya tabrak, karena seperti obat, semakin pahit di awal, khasiatnya semakin baik.

Ritual-ritual ini memang membuat saya meneteskan lagi air mata yang sudah saya janjikan tidak akan saya keluarkan lagi pertanda saya sudah rela. Tapi ternyata saya tetap manusia yang bisa larut dalam kenangan.
Saya tetap manusia yang menganggap "menyakiti" untuk menyembuhkan. Menyakiti diri sendiri untuk meredakan sesuatu yang bergejolak di dalam sini.
Celengan ayam itu buat saya adalah penguatan, perjuangan, kerelaan.

Celengan ayam yang juga tidak akan pernah di keluarkan isinya.