Sehabis pulang dari Rumah Sakit. Sehari sebelum lahiran. Nggak semet-sempet niat mau maternity photo, Ya sudahlah |
Masih ketawa-ketawa pas bukaan 4 |
Dokter dateng sekitar jam setengah sembilan.Dan lagi-lagi di cek bukaan, oke sudah bukaan empat lunak, mau ke lima. Makin semangat lah saya, karena menurut kata orang-orang dan saya baca, dari bukaan 1 menuju 4 itu lama banget dan setelah 5 itu cepet. Perkiraan dokter saya bukaan sempurna jam 2 siang. Senangnyaaaaa..
"Kok bukaan 4 biasa-biasa aja,sih ,Bu? Ada pasien yang udah teriak-teriak pas bukaan 4." Kata Suster yang bantuin dokter periksa dalem.
"Masa, sih, Mbak? Saya sebenernya mules kok, Mbak, cuma belum kuat dan nggak seserem yang saya denger dari orang."
(Kebanyakan dengerin orang)
"Kalo gitu saya baca-baca buku di sebelah, ya, sambil nunggu," kata dokter saya. Padahal setahuku beliau ada jadwal praktek di Jimbaran jam 10. Demi sayaaaaaaa.....terharu.
Setelah dinyatakan bukaan 5, saya masih sempet jalan-jalan bentar. Oiya, orang tua saya dan mertua udah komplit nunggu di RS, walopun nggak lama setelah itu Bapak saya pamit ke kantor. Sedangkan suami udah ijin ke Pak Bos untuk nggak masuk kantor.
Mbak suster nyuruh saya istirahat supaya tenaga full pas bukaan lengkap, "Bu,istirahat aja, biar nanti tenaganya nggak habis pas mau ngejan."
Oke, baiklah. Saya akhirnya berbaring di bed dan nggak lama ada suster yang dateng dan nyuntikkin sesuatu ke panggul saya.
"Ini untuk apa ya, Sus?"
"Supaya Ibu kuat nanti pas ngejan."
Dikata guwe lemah apeeeeeh.... Ya sudahlah, untuk kebaikan, toh.....
Nggak lama setelah disuntik saya merasakan sesuatu nusuk-nusuk perut bawah dan pinggang belakang. Oh lala.. mulesnya mulai meningkat,nih, gitu saya pikir. Tapi kok berasa mau pup juga ya. Saya jadi ragu ini mules karena dorongan si dedek apa saya mau pup. Akhirnya saya lapor sama Mbak Suster, "Mbak ini saya nggak tau mau pup atau mules.Saya coba ke toilet dulu, ya."
"Iya Bu, silahkan. Soalnya nanti udah bukaan di atas 7 kita nggak ijinin lagi ke toilet."
Jadilah saya terduduk menunggu di toilet dan nggak menghasilkan apa-apa. Saya berkesimpulan ini adalah dorongan kepalanya dedek. Good job, Cantik... Ayo terus, gitu batin saya.
Sekembalinya saya ke ruang bersalin, mulesnya semakin menjadi. Saya yang tadi nyengir-nyengir berubah jadi meringis. Suami saya nggak berhenti megangin tangan saya, sesekali ngajakin becanda. Tapi semua serasa udah mental. Saya coba juga tehnik hypnobirthing dan relaksasi dibantu musik relaksasi dari henpon suami, gagal juga. Saya tetap meringis. Ini sakit yang paling sakit selama saya hidup. Gimana nggak, sakitnya depan dan belakang. Dibawah pinggul saya serasa di tusuk sama benda segede gaban.Mama dan mertua saya bolak balik ke kamar bersalin, "Caesar aja lah ya.. Nggak mau?"
Saya menggeleng, saya keukeuh pengen lahiran normal supaya sempurna menjalani kodrat sebagai wanita, gitu pikir saya.
Sekian jam berlalu dengan saya menahan sakit yang semakin menjadi. Kata-kata yang keluar dari mulut saya cuma, "Sakit... sakit... sakit, Ayah... Sakit.." sambil meremas tangan suami saya tiap kontraksi itu datang.
Saya trenyuh saat ngeliat air mata di sudut mata suami.
Nggak lama dia berkata, "Nggak bakal aku macem-macem, Bun.. Gini perjuanganmu ngelahirin anakku,"
Saya hanya mampu mengangguk sambil membatin, aku juga, keluarga kecil kita adalah hal terdepan yang ada di benak sebelum aku melakukan sesuatu.
Didera rasa sakit yang begitu hebat, saya berpikir mungkin ini uda bukaan 6 atau 7 karena frekuensi mulesnya sering dari sebelumnya.
Sampailah akhirnya jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WITA. Perawat kembali masuk dan ngecek bukaan. Alangkah kagetnya saya saat suster berkata, "Oh, masih bukaan 5 ini, Bu..." dengan nada yang -ya,ampun..sabar ya, Bu-
Saya semakin stress, sakit yang begitu sangat tapi bukaan nggak jalan-jalan.
"Gimana, Bun? Mau induksi apa mau caesar sekalian. Kalo caesar, setengah jam lagi kamu udah bisa ketemu anakmu," Suamiku mencoba bernegosiasi.
Dan aku masih keukeuh, "Induksi aja....."
Kembali suami saya, "Yakin kamu? Masih bisa tahan sakitnya?"
Saya terdiam. Ya, jujur saya emang udah nggak tahan lagi sama mulesnya. Sudah luar biasa Tapi dorongan untuk lahiran normal masih tinggi.
Suter pun ngasi kita waktu untuk berpikir.
Selang setengah jam kemudian, suster pun menanyakan keputusan kami.
"Induksi aja, Sus....."
Dan dalam sekian detik kemudian, "Sus, caesar aja......."
Saya menyerah. Tenaga saya sudah terkuras rasanya. Keringat juga mulai membanjiri tubuh saya.
Dan begitulah....
Maka tidak lama, saya menerima ciuman dari mama saya, mertua dan suami. Mama saya dengan mata berkaca-kaca mencium sambil berbisik, "Mama anter sampe sini aja ya. Berdoa." dan saya hanya bisa menahan tangis sambil mengangguk.
Sekilas semacam drama di tivi. Tapi percayalah, saya dalam hati minta maaf kepada Tuhan, atas semua salah saya kepada Mama karena rasanya begini ternyata mau melahirkan. Seperti meregang nyawa.
Sesampainya di ruang operasi, saya menunggu beberapa saat sambil semua tim mempersiapkan alat-alat. Pikiran saya kembali jelek karena saya kembali akan disuntak-suntik.
Saya lupa berapa orang di ruangan itu, kurlebnya 5 orang sudah termasuk dokter kandungan saya dan dokter anestesi.
"Halo Ibu, saya Asmaya, dokter anestesi," sapaan ramah mampir di telinga saya. Di samping saya berdiri dokter itu hanya terlihat matanya karena sudah berpakaian lengkap ijo-ijo ala tim medis lengkap dengan maskernya. Saya lagi-lagi hanya mampu mengangguk dan tersenyum.
"Bu, ini kita suntik biusnya ya di punggung, posisi badan melengkung," perintah dr. Asmaya.
"Bentar, Dok! Saya kontraksi lagi!" teriak saya. Kontraksi muncul saat posisi saya sudah melengkung dibantu seorang mbak suster.
"Oke, udah, Dok. Hitung sampe 3 ya, Dok, saya mau tarik nafas," begitu perintah saya. Konon menarik nafas dapat mengurangi sakit.
"Oke, Bu, siap, ya. Ini jarumnya udah saya tempel di kulit. Tarik nafas, satu...dua.. tiga"
Cressss... sesuatu yang ngilu menghantam tulang punggung saya, seketika kaki saya berasa kesemutan dan dokter bilang itu adalah efe bius lokal barusan.
Dalam hitungan detik saya udah nggak ngerasa apa-apa di bagian dada ke bawah, dan ada kain hijau yang membatasi pandangan saya ke daerah perut.
Dokter menyarankan suami saya ikut masuk. Padahal di depan, suami saya di stop sampai di pintu ruang operasi sama Mbak Suster.
Mereka mulai mengoperasi saya, para dokter itu bersenandung seolah-olah cuma lagi main catur, hihi. Saya sendiri mulai ngerasa ngefly dan ngantuk luar biasa. Saya hampir aja berniat pejemin mata saat saat denger sapaan khas, "Hawooo.."
Suami saya. Lagi-lagi saya mau mewek. Hahaha sejak hamil saya jadi sensitif banget..
Akhirnya saya ngobrol-ngobrol sama suami sampe akhirnya bayi saya diangkat,dibersihkan dan ditunjukkin ke saya.
"Ini anaknya, Bu... 3,5kg, 50 senti. Dicium ya anaknya, ya..."
Saya bersyukuuuuuuurrrrrrr luar biasa saat mencium bayi saya. Bau yang khas. Cuma saya nggak sempet liat jelas wajahnya karena sudah dibedong dan mau dibawa ke ruang bayi.
Akhirnya penantian saya selama 9 bulan berwujud nyata. Cantik. Saya nggak bisa mendeskripsikan perasaan saya yang kadang masih nggak percaya, sudah ada bidadari kecil diantara kami, saya dan suami.
The three of us.
Bunda akan merindukan masa-masa kamu di perut Bunda, Nak...
Saat Bunda pulang kantor dan kelelahan luar biasa kita tanggung berdua..
Saat hanya kita berdua kehujanan di jalan tanpa jas hujan dan dicipratin orang...
Saat Bunda menahan apapun yang Bunda makan agar tidak mendesak keluar...
Saat Bunda mulai merasakan pergerakan kecilmu, sampai tendanganmu yang terkadang membangunkan Bunda dari tidur.
Saat kita bercakap-cakap dan kamu merespon dengan gerakmu......
Betapa nikmat semuanya, Nak....
Kelak jadilah yang membahagiakan orang tua dan sekitarmu..
Bahagia dan sukses mengikuti jejakmu, kemanapun kamu melangkah...
Selamat bertarung dengan dunia, Ni Putu Kinan Nirvasita Naresvari-ku.......