Kamis, 02 Februari 2012

Perjalanan Kecil Bermakna Besar

Bagaimana rasanya wisata kuliner?? Saya bahkan kamu mungkin hampir setiap weekend berwisata kuliner, cicip sana, cicip sini. Apalagi weekend adalah waktu bersama keluarga dan waktu bersama teman. Seenggaknya itu untuk saya, secara Senin sampe Jumat saya harus terbenam rutinitas menjadi seorang karyawan yang santun lagi ramah. #Plak!!

Bagaimana dengan wisata rohani? Kalo saya, selama saya tinggal di Bali baru kali ini saya berwisata rohani. Satu, bawaan saya belum terlalu ngerti jalan yang jarang saya lalui (Bali itu kecil tapi kamu bisa nyasar sampe Banyuwangi), selain itu saya nggak tau kemana saya harus mencari "pendamping" untuk nemenin saya.

Tapi akhirnya itu terwujud di awal Januari kemarin (dan tersadarlah bahwa tulisan ini sangat telat). Bermula dari celetukan salah satu temen kantor, yang ngajakin untuk wisata rohani. Sembahyang, kunjungan ke tempat suci, dan sejenisnya. Berhubung waktu yang belum tepat, akhirnya terpending sampai saya mengungkit kembali rencana yang sempat tertunda itu.

Dan sabtu itu akhirnya kami sepakat ke Sebatu, daerah Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Janjinya seeeeh jam 7 udah berangkat dari kantor (kita ngumpul di kantor), tapi berhubung semua waktu di Indonesia adalah bagian karet, tetep aja mundur-mundur dan akhirnya di jam 7 lewat sekian menit baru ada saya, Ayu, dan Agus. Bete nunggu, kita pun berpoto-poto bentar :D

Agus, Ayu, dan saya. Boleh ya yang tengah tuain dikit mukanya.

Akhirnya jam 8 pagi kita melaju ke Sebatu.Kita berbagi mobil. Saya, Agus, Ayu, dan Wida di mobil Agus. Bli Ari dan Leo di mobil Bli Ari. Mbak Diah, Suaminya, anaknya, Mbak Pitri, dan Mbak Tri berada di satu  mobil.
Yak, mari cusss..
Perjalanan kita tempuh selama kurang lebih satu setengah jam.
Sebagai gambaran, Sebatu adalah tempat penyucian diri (istilah Balinya : Melukat), ada sumber mata air yang mengalir yang diyakini bisa "membersihkan" diri kita, saat kita dengan tulus berdoa, dan bernaung di bawah mata air yang menyerupai air terjun mini itu

Sampai disana, ternyata kita harus nurunin tangga batu karena sumber mata airnya di bawah. Saya mulai was-was dan mendelik seram ke arah sandal saya. Kenapa nggak jepitan aja tadi, ya?

Untung aja karena rame, kita jadi saling perhatiin satu sama lain

Kedekatan dengan Sang Pencipta adalah kedekatan paling dekat dari apapun. Urat nadimu bahkan lebih jauh daripada tangan Tuhanmu. Saat air terjun mini itu mengguyur kepala, aku menyadari, aku hanya bagian sangat kecil, sepersekian dari kamu, bumi, dan jagat raya. Bahwa aku menyadari, hidup manusia tidak akan pernah sempurna. Tapi dilimpahkan berkat setiap harinya, memiliki orang tua lengkap dan begitu mencintai anak-anaknya, pasangan yang bisa membimbing dan mengerti kamu luar dalam, sahabat yang dengan cerianya memasuki hidupmu dan berbagi hari bersamamu, pekerjaan yang mendatangkan rejeki yang sangat cukup buatmu, wahai manusia, ada lagi yang ingin kamu serakahi?




  
Sesampainya kita di bawah, di sumber mata air, kita pun memasuki air satu per satu, setelah sebelumnya menghaturkan sesajen dan sembahyang pertama.
Mata airnya sumpah keras banget! Sambil menangkupkan tangan di atas kepala, kita menyerahkan diri untuk dihujani sumber mata air yang deras itu.

Bayangkan terpaan airnya.
Dan sebagai mahluk Tuhan paling eksis, kami perlu satu fotografer untuk mengabadikan momen kebersamaan kami, tentunya tanpa mengurangi khusyuknya ibadah kami.
Setelah kami merasa cukup, akhirnya satu per satu kami berbilas dan mengganti pakaian dengan pakaian sembahyang untuk melanjutkan persembahyangan terakhir.

Dan ini beberapa gambaran suasana waktu itu.