Minggu, 19 Juni 2011

Small Discuss in Our Nice Sunday

Namanya manusiawi, ya, kita yang nggak pernah bener-bener puas dengan apa yang udah kita punya. Ada aja hal-hal remeh temeh tetek-bengek-bengep-melember yang ngebuat kita ngerasa kekurangan sesuatu.

Siang ini, saya dan rekan-rekan seperjuangan di kantor ketemuan, selain untuk temu kangen, juga untuk ngebunuh Minggu supaya dia nggak membosankan.
Kita berempat. Seangkatan waktu pendidikan. Kebetulan yang dua orang lagi -Tirta dan Awal- beda cabang dengan kita berdua -saya dan Ayu-

Semua topik akhirnya ter-blow up ke permukaan. Dimulai dengan yang ringan-ringan seputaran kerjaan, merambat ke relationship kita masing-masing, bonus, insentif, gaji dan perkembangan karir di kantor, Dewi Persik yang operasi selaput dara, blah blah blah! Melebar, menggendut, sampai kehabisan topik, kehabisan donat dan kehabisan minuman.

Jujur, seneng banget lama nggak ketemuan gitu. Serasa ngulang waktu classroom jaman kita masih jadi pegawai baru nan lugu
Tapi disamping itu, banyak sisa-sisa obrolan yang membuat saya berpikir jauh, dalam perjalanan pulang, dan sampai saya menggerayangi tuts-tuts lembut ini.

Ketidakpuasan mungkin memang diciptakan untuk menjadi setan yang harus diperangi, ya.
Walopun secara keseluruhan kita bahagia (dengan tidak menyinggung topik manapun), tapi keadaan-keadaan yang seperti itu terus ada.
Saya sering disiram nasihat sama pasangan saya.
"Lihat ke atas, maka kamu akan terus termotivasi. Lihat ke bawah, agar kamu selalu bersyukur."
Sesuatu yang sangat saya kagumi sebenarnya dari dia. Karena dia bisa membuktikan kata-katanya.
Masalahnya adalah, mata kita-kita nggak cuma bisa ngelirik ke atas dan ke bawah. Tapi juga ke kiri dan ke kanan.
Lirikan kiri kanan ini yang bisa mengundang setan. Aduh, bahasa saya kacau balau, ya. Maklum, cuaca panas, Mas Bro, Mbak Bro.

Saya, sih, mengakui bukan orang yang sangat bijak dalam berpikir, berkata, dan bertindak. Tapi rumpian tadi itu jadi bahan evaluasi juga untuk diri saya terutama.

Apa, sih, sebenernya yang membuat kita ngerasa nggak pernah cukup? Karena sudah mendapatkan sesuatu, lalu mengetahui ada hal lain yang lebih, yang bisa kita raih dengan keadaan di atas keadaan sekarang?
Begituuuu terus sampai semua ada di titik puncak, yang kita nggak tau kapan akan sampe kesana.
Tapi saya ragu, apa yang model-model begitu bakal ada titik puncaknya.
Karena saya juga, -tidak munafik- kadang merasa nggak puas dengan yang saya terima, padahal toh diliat-liat dengan cermat, keadaan saya juga nggak ada kurang-kurang yang bikin saya sengsara.
Keluarga, tunangan, teman-teman, pekerjaan dan penghasilan. Semua istilahnya lebih dari cukup untuk dinikmati.
Nah tentang yang belum saya dapatkan mungkin akan lebih panjang daripada apa yang sudah saya miliki kalo dijabarkan.
Tapi maknanya disini nggak selalu untuk hal-hal yang lux dan berbau materi, ya.
Hal-hal sederhana, deh. Dan nggak akan sama kadar puasnya si orang satu dengan si orang dua.
Nggak bisa bilang "STOP" untuk apa yang kita peroleh.
Sudah mendapatkan si ini, si batin demo pake speaker "Aku pengen yang itu! Buruan dapetin"
Tercapai yang itu, "Eh yang sana juga mesti."
Sana sudah di genggam, "Akan lebih sempurna kalo sini juga bisa"
Maka dapatlah si sini, dan akan teruuusss ada si situ si siti, si sita, si sito..

Kapan berhenti?
Kalimat simpelnya, kan, "Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah...."
Yakin kalimat itu benar-benar sesimpel kedengarannya?

Saya masih belajar, lho.
Ada yang udah sukses membunuh si ini, itu, sini, sana, situ, siti, sita, dan sito?
Boleh di share :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar