Jumat, 25 Desember 2009

Dia Bilang Ingin Mati Disini Saja. (Cerpen 1)

Aku memainkan ujung rambutnya yang tergerai ikal. Ia sendiri asyik dengan rumput yang dengan bodohnya ia gigit-gigit. Iseng, kutarik rumput yang bersemayam di bibirnya yang mungil itu. Cepat kilat ia menarik kaosku, dan dengan geram mencubitiku.
"Blogok!!" makinya.
"Blodoh! Rumput digigit!" Aku menyahut sambil melindungi diri dari serangannya yang membabi buta.
"Bikin kaget, Blogok!"
Ia diam. Aku diam. Kami diam.
"Kok diem, Gok?" ia menjawilku manja.
"Kamu kan mau mati, Blodoh.."
Ia menoleh pelan demi mendengar kata-kataku barusan, lalu tersenyum manis. Senyum yang selalu manis sama seperti setahun lalu, lima tahun lalu, lima belas tahun lalu. Sesaat tepian danau ini terasa begitu kering.
"Kenapa? Mati ya mati aja. Jalannya." jawabnya santai sambil memelintir rumput yang tadi ia gigit.
"Nggak sedih, Gok?"
Ia menggeleng pelan. Tapi aku yakin pikirannya kemana-mana.
"Kamu mau mati di mana?" aku bertanya, namun menatap kosong hamparan rumput-rumput tak teratur di sekitar kami, yang tumbuh di tepian danau ini. Tempat favorit kami sejak masih putih biru.
"Disini."
Seketika tawaku pecah mendengar jawaban singkat si Blodoh. Ia tetap bodoh sejak lima belas tahun lalu, sejak mengajakku berkenalan lewat tembok pemisah rumah kami, hanya untuk bertanya kenapa penghapus mickey mousenya tidak bisa menghilangkan coretan pulpen berupa benang kusut yang ia toreh di buku kakaknya. Karena aku juga gagal membantunya, tak lama terdengar suara menggelegar kakaknya, disusul jerit tangisnya.

Dan sekarang dengan mimik bodoh juga, ia memperhatikanku dengan kernyitan yang menyatukan kedua alis yang bagai semut berbaris itu.
"Jangan ketawa, Blogok!"
Tawaku kini hanya tersisa kuluman senyum yang kutahan agar tak muncul ke permukaan.
"Kalo kamu mati disini, Blodoh, aku tinggal buang mayatmu di danau depan itu."
Sekarang gantian ia yang tertawa lepas. Sangat lepas.
"Kamu ingat, Blogok, penghapus mickey mouse?" kembali ia bertanya. Kali ini ia dengan serius menatap kilauan cahaya yang terpantul lewat permukaan air danau. Hari mulai sore.
"Hahahaha...abis kamu dimarah kak Sinta, kamu langsung buang itu penghapus ke teras rumah aku."
"Lalu aku sore-sore datang ke rumah kamu, nagih penghapus itu lagi.."
"Tapi udah dibuang.."
"Hahaha..lagi-lagi aku nangis."
"Itu sore pertama dan kali pertama aku meluk kamu, Blodoh.."
Ia diam lagi. Tidak menyambung omonganku lagi. Tidak tersenyum lagi. Aku pelan-pelan tersakiti dengan suasana ini.
"Blodoh, aku bohong sama kamu selama lima belas tahun. Lihat ini..."
Perlahan kutarik sesuatu yang telah lama menggantungi leherku namun tak pernah kuperlihatkan pada siapapun. Ia tercengang. Mulutnya ternganga. Takjub adalah kata yang paling tepat.
Ia memandangku tanpa berkedip. Agak ragu ia mengulurkan tangannya untuk meraih sesuatu yang kutunjukkan padanya.
"Blogok... kamu... "
Lalu kulihat sesuatu yang tidak kusuka : melihat mata memerah lalu airmata bergulir.
"Aduh, jangan nangis kenapa sih!" keluhku.
Tapi ia mendadak tuli. Tanpa ijin, ia melepas kalung itu dari leherku.
Bukan kalung.
Penghapus mickey mouse tipis, kehitaman, dan sompel di beberapa bagian pertanda sering digunakan. Ujung bagian atasnya kutusuk paksa dengan pisau kecil untuk kujadikan mata kalung, rantai kalungnya hanya benang jahit berwarna putih yang kusimpul mati ujungnya.
"Aku benar-benar ingin mati disini, Rey.."
Ini adalah ketiga kalinya ia memanggilku dengan nama asliku. Pertama, saat ia mencari penghapus kesayangannya itu, kedua, saat ia marah besar padaku 5 tahun lalu, saat pertama kali menduduki bangku SMA, dan ini yang ketiga.

Ia kembali memasangkan kalung itu dileherku. Namun, setelah itu tangannya tak bergerak dari bahuku.
Aku tak tahu siapa yang memulai, bibirku begitu saja telah memagut lembut bibirnya. Ia membalas tanpa tenaga. Aku sadar, ia rapuh, tapi tak menangis lagi.
Satu menit... Dua menit..
Ia tak membalas ciumanku lagi.
Aku regangkan ia dari dekapanku. Aku tahu, ia pergi.
Tanpa kata dan tanpa ungkapan. Tapi itu tak perlu. Aku tak peduli, Aku kembali mendekapnya dan menciumnya, kini dengan dua tetes airmata. Cukup dua untukmu, Rafika Namanta...



Disinilah aku sekarang, menyuntikkan semangat hidup pada mereka, para ODHA, lewat cerita tentang seorang penderita AIDS dan penghapus mickey mousenya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar