Rabu, 03 November 2010

Beranda Bercerita di Tengah Malam Buta (Cerpen II, tanpa judul-karena tidak perlu judul)

Kaki kita terus melangkah. Berjarak, lalu semakin jauh. Apa masih ada kata yang belum sempat kau sampaikan, Dewiku, sebelum kita benar-benar melangkah ke arah yang berlawanan.
Lalu desah nafas kita menjadi saksi. Jantungku seakan hendak melompat dari mulutku, dan memperlihatkan torehan namamu di permukaannya. Masih basah oleh darah.
Apa perlu lagi ragu itu, Dewiku?
Jangan, Dewi.
Setitik ragu yang kemudian terbit berarti memperuncing mata pisau yang menghunjam nadiku. Sakit.
Sudah, Dewiku? Mari kita lepaskan pagutan bibir kita. Urai perlahan jemari kita yang masih bertaut.
Sudah, ya.
Tidak ada alasan lagi sekarang. Ayo kita teruskan langkah kita, dengan punggung yang bertemu punggung. Pastikan jangan lagi kepalamu menoleh, Dewi. Karena yang kau akan temui hanya punggungku yang semakin menjauh.



** Denpasar, di beranda rumah kontrakan, dengan malam yang semakin menyayat minta dikasihani. Untuk sebuah masa lalu yang dibingkai rapi di sudut hati. Terimakasih Enya untuk backsound-nya selama menulis.

3 komentar:

  1. sudah beda tujuan bukan brarti hrus saling membelakangi bukan?
    tanpa sekedar menoleh sedikit pun?
    smoga saja tidak..
    Mereka si masa lalu,selalu ada dsini ktika dcoba utk dpanggil...:-)

    BalasHapus
  2. Aduh, pandangan saya mengabur... semoga gara-gara abu vulkanik dan bukan karena hal lain...
    ='(

    BalasHapus
  3. hendra : mereka, masa lalu, cukup tau kapan dan untuk apa ia muncul kembali ke permukaan.

    yoan : tenang jo, sini tak peluukk :)

    BalasHapus